Sunday, 10 June 2012

Superman..


Supermanku . . .
Pahlawanku, Superman keduaku setelah Ayahku . .
Dan ternyata pada akhirnya “Mas.ku” harus tergolek lemah di pembaringan itu, pembaringan itu di hiasi serpei putih dengan label “Rumah sakit islam, Hidayatullah”, handuk untuk mengkompres kepalanya pun di lebeli “Rumah sakit islam, Hidayatullah” dan infus di sampingnya..
Pagi ini, 15 Januari 2012..
Hingga pukul 09:30, hari ku terasa biasa, aku bangun tidur, buka leptop (kebetulan leptop sobatku “Fina” sedang berdiam di kamar box ku), aku during. Sebenarnya aku terbangun dari tidur sekitar pukul 07:10 WIB, aku kaget setelah membuka mata dan melihat jam, jarum jam sudah menunjukan arah pukul 07:25 WIB, jarum jam yang pendek di angka 7 dan jarum jam yang panjang di angka 5, tapi jam tetap di baca pukul 07:10, karena memang di blandangke  15 menit. Aku langsung mencari hape ku, kuraba-raba daerah samping kepalaku, yaa.. pada intinya daerah sekitar tempat tidurku dengan mata yang masih kriyep-kriyep. Tak ku temukan. Aku lupa kalo semalaman hape sedang ku charger karena batrenya sudah kosong..
Aku bangkit dan meraih hape ku, 1 miscoll dari Mas Tri (dia, kakak tingkatku) dan beberapa pesan tertera di sana. Hari ini aku memang janji sama Mas tri untuk ikut serta bersama rombongannya melakukan kegiatan sosial “penghijauan di Merapi”, sayangnya aku tak bisa ikut karena sesuatu hal, padahal ingin sekali rasanya. Ya sudahlah . . . semoga ada hari lain sebagai penggantinya..
Kemudian sms masuk lagi dari Mba Rivena (dia juga kakak tingkatku, aku satu perusahaan dengannya – perusahan media, “pers Mahasiswa (poros)” ). “mba, pengen jalan-jalan tapi nggak ada temennya.. begitu katanya.. ahahhaha . .  karin kok di tawarin jalan-jalan. Tanpa berpikir panjang langsung kuterima tawaran itu, tujuannya mau makan ice cream di McD. Jam 10 nanti kita berangkat.
Oke, jam sudah menunjukan ke arah pukul 10. Lewat, aku belum juga siap-siap. Aku masih asyikk during. Dunia maya memang mengalihkan konsentrasiku, mengalihkanku dari dunia nyata, kuat sekali pengaruhnya, tak terelakkan. Dengan perasaan malas aku menuju bagian belakang rumah di kost ku.. sekitar 30 menit kemudian aku kembali lagi di kamar box ku. Sudah agak siap, tinggal pake jilbab.
Ku raih hape ku kembali, beberapa sms masuk.
Dari Mba Rivena : Sudah siap nduk?
Dari Mas Taufik : Salam, Ukh karin, afwan jika menggangu aktivitasnya, hari ini sibuk ngak?
Hemm . . awalnya aku biasa saja menanggapi sms.sms yang masuk, termasuk sms dari Mas Taufik, ku balas segera smsnya.. “wassalam, hemm ngk juga sii, ada apa mas?”. Tak ada balasan lagi darinya, tak lama Mas Taufik telpn. Mungkin karena aku lama membalasnya..
Aku agak heran, kenapa sampe telpon? Ada apa?
“Assalamualaikum,”
“Walaikumsalam, ini ukh karin kan?” Suara di seberang telpon..
“iya, gimana mas?”
“Bisa ke hidayatullah sekarang? Tanyanya, Mas Taufik tetap dengan nada yang tenang. Mungkin maksdunya agar aku juga tenang mendengarkan berita yang akan di sampaikannya.
“Hidayatullah?” aku agak tersentak.. (kenapa menyuruhku ke rumah sakit hidayatullah)
“iya, Akh Rahman, ada di sini, antum segera ke Hidayatullah ya ukh.. ada yang mau di rembukan..
“Hah? Mas Rahman?” (Aku kaget, ada apa dengan Mas.ku, Superman.ku)
“iya, santai aja ukh, segera kesini saja..”
“iya mas, iya karin ke sana.. Assalamualaikum..”
“Walaikumsalam,” jawab Mas Taufik tetap dengan nada tenang..
Aku bingung, ya bingung. Sms mba Rivena kembali muncul di hape ku
“Nduk, udah siap?”
Ku telpon segera Mba Rivena, “Assalamualaikum, Mba.. Mba.. Mba Rivena..” entahlah sulit sekali ku mendengar suaranya dari seberang sana,
“iya, yaa,, gimana nduk?” Sekitar 15 detik kemudian, baru terdengar suara itu..
Tanpa memberi jeda untuk Mba Rivena berbicara, aku langsung menceritakan apa yang sedang terjadi..
“Mba, maaf yaa, karin nggak bisa pergi sekarang, karena Masku masuk rumah sakit, Maaf ya mba, maaf..”
“Iya, yaa nggak apaapa nduk, moga masnya cepet sembuh.”
“iya.”
Sudah, sampai situ pembicaraanya. Aku membatalkan janji dengan Mba Rivena, janji makan ice cream bersamanya, aku segera siap.siap, cepat, cepat. Ku kenakan jilbab, jaket, kaos kaki dan terakhir ambil sepatu di rak sepatu yang terletak di teras rumah. Aku keluar dari pintu samping, pintu lalu-lintas untuk mengeluarkan dan memasukan para kendaraan (motor&sepeda). Aku melaju ke Hidayatullah dengan mengendarai sepeda motor milik Mei, Mei susanti nama lengkapnya..
Agak ngebut memang, tapi tetap hati.hati..
Masku masuk rumah sakit (pikirku dalam hati, di sepanjang perjalananku menuju Hidayatullah), mas ku kenapa? Masku.. Masku.. Masku..
Aku sampai di pelataran Hidayatullah, masuk gedung rumah sakit islam itu. Ku telusuri ruang-ruangnya, mencari ruang Marwa No. 8. Setelah menelpon Mas Taufik pun segera mengirim pesan singkat – petunjuk keberadaan masku.
Ku cari-cari bacaan ruang Marwa di plang-plang yang tergantung di atas pintu, tak kutemukan. Di resepsionist, tak ada orang yang menjaga, atau memang itu bukan meja resepsionis?. Entahlah, aku tak peduli. Aku terus menelusuri, tetap tak kutemui. Sepertinya memang harus bertanya-pikirku.
“Mas, maaf mau tanya ruang, ruang Marwa dimana?”
“Lantai atas, jawabnya, singkat.”
Aku langsung menuju lantai atas, tanpa pikir panjang dan ucapan terimakasih sama mas.mas yang ku tanyai tadi. Aku menaiki anak tangga, dengan langkah cepat. Akhirnya ku temui ruangan marwa no.8. ku masuki ruangan itu, ku dapati mas,ku yang tergolek lemah, mas taufik, dan suster yang menanyai tentang  riwayat keadaan masku. Mas.ku pernah menderita hepatitis memang, dan kondisi tubuh masku nggak bisa terlalu lelah.
Ku liat wajahnya, lemah, lemas sekali. Suster masih menanyai beberapa hal terkait keadaan masku, setelah di rasa cukup memperoleh informasi tentang keadaan masku, suster pergi meninggalkan kami – aku, masku, dan mas taufik. Masku merebahkan tubuhnya di pembaringan, terlihat jelas dari kondisi dan raut wajahnya, masku lemas, supermanku sedang sakit.
Ku elus jemarinya, jemari yang di tutupi dengan sarung tangan karena mas merasa dingin. Kakinya di tutupi dengan kaos kaki dan tubuhnya di selimuti dengan selimut, mas meras dingin.
Uuhh . .. uuuhh... ya Allah.. rintih masku. Terasa nyeri setiap tetes air infus yang masuk memalui selang ke tubuhnya, rintih  masku. Aku bingung mau berbuat apa, demikian adanya –cairan infus memang harus masuk ke dalam tubuhnya, tubuhnya yang tergolek lemah itu. Ku pandangi ia, supermanku sedang merintih kesakitan, lemah, lemas, nyaris tak berdaya. Aku tak pernah melihatnya seperti itu sebelumnya, yang ku tau superman adalah orang yang paling kuat, selalu ada ketika aku butuh, kapanpun. Yaa, kapanpun.
Hening. Lama keheningan mendominasi ruangan no. 8 itu, yang terdengar hanya desah nafas masku dan rintih kesakitannya. Tak ada percakapan antara aku dan mas taufik. Tak lama. Ku buyarkan suasana dengan memulai percakapan dengan mas taufik. Awalnya aku bertanya tentang keadaan masku, bagaimana kronologinya sampai bisa ke ruangan marwa no. 8 ini, dengan santai mas taufik menceritakannya, semua. Dari mas ku yang awalnya meminta dibelikan bubur ayam sebagai sarapannya, masku yang di bawanya ke hidayatullah, sampai keputusannya harus memilihkan kamar atau ruangan mana untuk masku sebagai tempat perawatannya. Percakapan mengalir dengan derasnya, sedang masku tertidur di pembaringan, nafasnya sudah tak terlalu terdengar lagi, sudah normal. Rintih kesakitannya pun demikian.
Percakapanku dengan mas taufik mengalir ke masalah kampus, akreditasi, pengawalan kebijakan, sampai dengan pembicaraan tentang internal pergerakan yang kebetulan kami berada di dalamnya, yaa,, aku, masku dan mas taufik bernaung di satu gerakan mahasiswa. Gerakan yang menurut kami adalah gerakan yang tepat sebagai alat perjuangan. Percakapan terus mengalir hingga akhirnya mas taufik harus segera pergi karena ada urusan yang harus di selesaikannya. Tinggal aku dan masku di ruangan itu.
Sebelumnya, ada petugas rumah sakit yang membawakan makan siang untuk masku,
“Mas, maem yaa?” Tanyaku..
“Nanti aja, jawabnya singkat dan terbata
“iya akh, makan lah biar cepet sembuh..” lanjut mas taufik
“iya mas.” tambahku..
Akhirnya masku bangkit, duduk di pembaringan dengan lemah dan lesu. Ku siapkan makan siangnya, ku letakkan di depannya. Dengan lunglai masku menyendok nasi bubur yang sudah disiapkan, lunglai sekali.
“Di habiskan, makanannya..” kata ku.
Suap demi suap ia masukan nasi bubur yang di rasa tak enak itu kedalam mulutnya,
“nggak enak, pahit.” Keluhnya..
“iya, tapi harus tetap di habiskan,” timbalku..
******
Di sepanjang tangannya bekerja memasukan bubur ke dalamnya, terjadi percakapan antara aku dan masku, Masku – satu-satunya anak laki-laki di keluarga bude-pakdeku. Kami sepupu. Ibunya masku adalah kakak dari ibuku, aku dan masku bukan mukhrim memang, tapi kami begitu dekat dan memang aku tak  bisa jika harus berlaku seperti orang non-muhrim pada umumnya. Tak sungkan aku mengelus-elus tangannya, menyentuh kulitnya, memegangi lengannya atau bersandar di bahunya. Tak sungkan pula ak bermanja-manja dengannya, aku sering bermanja dengannya meski hanya lewat pesan singkat. Aku merasa begitu dekat. Tak pernah aku takut tentang sesuatu yang akan terjadi bila kami di posisikan sebagai lelaki dan wanita yang sudah cukup mengerti, karena memang tidak akan terjadi.
Hanya saja aku heran dengan orang-orang yang sibuk mengingatkanku atau mengingatkan masku tentang kedekatan kami. Aku tegaskan, aku menyayangi masku pun sebaliknya, aku bertindak sebagai adiknya dan masku bertindak sebagai kakak bagiku, karena kami memang satu keluarga.hanya itu.
***
Ku perhatikan ia dengan lesu memasukan suapan-suapan bubur ke dalam mulutnya, alhasil makan siang tidak habis, mungkin hanya setengahnya. Tak apa. Yang penting perutnya sudah terisi.
Setelah kubereskan makanan yang sengaja di letakkan di atas pembaringan juga – di hadapannya. Mas rebahkan tubuhnya. Masku tertidur, bangun lagi, merintih kesakitan.
Aku hanya bisa mengelus tangannya dan berkata “Mas, mana yang sakit?”
Dijelaskan oleh masku, cairan infusnya bikin nyeri, begitu nada terbata-bata yang bercampur dengan aliran nafas yang sulit ia hembuskan.
“iya mas, jawabku dengan bingung karena yang bisa berbuat – cairan infus tetap harus masuk kedalam tubuhnya..
Tak lama, masku tertidur pulas, aku duduk di kursi yang memang di sediakan di dalam ruangan itu, ruangan itu tak terlalu besar memang tapi di lengkapi dengan kipas angin, tv, kamar mandi serta kursi dan meja, aku duduk sambil membaca buku dan memainkan hape. Tapi rasanya masku tak tertidur pulas, di tengah-tengah suasana hening sesekali ku dengar suara rintihnya, tidak lagi. Rintih lagi. Demikian. aku hanya bisa melihatinya, karena memang begitu keadaannya.
Kali ini ia pejamkan matanya dari setelah nyeri tak begitu terasa, di saat itu ku pandangi dengan puas raut wajahnya dari kursi yang sekitar 2 meter jaraknya. Masku-supermanku. Lemah sekali, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk mereda sakitnya atau menghilangkan sakitnya, tapi masku memang butuh sesuatu, butuh do’a agar segera sembuh . .

No comments:

Post a Comment

TerimaKasih, ^^ sudah melukiskan komentarnya lewat tulisan..

Salam KenaL.. ^**