Supermanku
. . .
Pahlawanku,
Superman keduaku setelah Ayahku . .
Dan
ternyata pada akhirnya “Mas.ku” harus tergolek lemah di pembaringan itu,
pembaringan itu di hiasi serpei putih dengan label “Rumah sakit islam,
Hidayatullah”, handuk untuk mengkompres kepalanya pun di lebeli “Rumah sakit
islam, Hidayatullah” dan infus di sampingnya..
Pagi
ini, 15 Januari 2012..
Hingga
pukul 09:30, hari ku terasa biasa, aku bangun tidur, buka leptop (kebetulan
leptop sobatku “Fina” sedang berdiam di kamar box ku), aku during. Sebenarnya
aku terbangun dari tidur sekitar pukul 07:10 WIB, aku kaget setelah membuka
mata dan melihat jam, jarum jam sudah menunjukan arah pukul 07:25 WIB, jarum
jam yang pendek di angka 7 dan jarum jam yang panjang di angka 5, tapi jam
tetap di baca pukul 07:10, karena memang di blandangke
15 menit. Aku langsung mencari hape ku,
kuraba-raba daerah samping kepalaku, yaa.. pada intinya daerah sekitar tempat
tidurku dengan mata yang masih kriyep-kriyep. Tak ku temukan. Aku lupa kalo semalaman hape sedang ku charger
karena batrenya sudah kosong..
Aku
bangkit dan meraih hape ku, 1 miscoll dari Mas Tri (dia, kakak tingkatku) dan
beberapa pesan tertera di sana. Hari ini aku memang janji sama Mas tri untuk
ikut serta bersama rombongannya melakukan kegiatan sosial “penghijauan di
Merapi”, sayangnya aku tak bisa ikut karena sesuatu hal, padahal ingin sekali
rasanya. Ya sudahlah . . . semoga ada hari lain sebagai penggantinya..
Kemudian
sms masuk lagi dari Mba Rivena (dia juga kakak tingkatku, aku satu perusahaan
dengannya – perusahan media, “pers Mahasiswa (poros)” ). “mba, pengen
jalan-jalan tapi nggak ada temennya.. begitu katanya.. ahahhaha . . karin kok di tawarin jalan-jalan. Tanpa
berpikir panjang langsung kuterima tawaran itu, tujuannya mau makan ice cream
di McD. Jam 10 nanti kita berangkat.
Oke,
jam sudah menunjukan ke arah pukul 10. Lewat, aku belum juga siap-siap. Aku
masih asyikk during. Dunia maya memang mengalihkan konsentrasiku, mengalihkanku
dari dunia nyata, kuat sekali pengaruhnya, tak terelakkan. Dengan perasaan
malas aku menuju bagian belakang rumah di kost ku.. sekitar 30 menit kemudian
aku kembali lagi di kamar box ku. Sudah agak siap, tinggal pake jilbab.
Ku
raih hape ku kembali, beberapa sms masuk.
Dari
Mba Rivena : Sudah siap nduk?
Dari
Mas Taufik : Salam, Ukh karin, afwan jika menggangu aktivitasnya, hari ini
sibuk ngak?
Hemm
. . awalnya aku biasa saja menanggapi sms.sms yang masuk, termasuk sms dari Mas
Taufik, ku balas segera smsnya.. “wassalam, hemm ngk juga sii, ada apa mas?”.
Tak ada balasan lagi darinya, tak lama Mas Taufik telpn. Mungkin karena aku
lama membalasnya..
Aku
agak heran, kenapa sampe telpon? Ada apa?
“Assalamualaikum,”
“Walaikumsalam,
ini ukh karin kan?” Suara di seberang telpon..
“iya,
gimana mas?”
“Bisa
ke hidayatullah sekarang? Tanyanya, Mas Taufik tetap dengan nada yang tenang.
Mungkin maksdunya agar aku juga tenang mendengarkan berita yang akan di
sampaikannya.
“Hidayatullah?”
aku agak tersentak.. (kenapa menyuruhku ke rumah sakit hidayatullah)
“iya,
Akh Rahman, ada di sini, antum segera ke Hidayatullah ya ukh.. ada yang mau di
rembukan..
“Hah?
Mas Rahman?” (Aku kaget, ada apa dengan Mas.ku, Superman.ku)
“iya,
santai aja ukh, segera kesini saja..”
“iya
mas, iya karin ke sana.. Assalamualaikum..”
“Walaikumsalam,”
jawab Mas Taufik tetap dengan nada tenang..
Aku
bingung, ya bingung. Sms mba Rivena kembali muncul di hape ku
“Nduk,
udah siap?”
Ku
telpon segera Mba Rivena, “Assalamualaikum, Mba.. Mba.. Mba Rivena..” entahlah
sulit sekali ku mendengar suaranya dari seberang sana,
“iya,
yaa,, gimana nduk?” Sekitar 15 detik kemudian, baru terdengar suara itu..
Tanpa
memberi jeda untuk Mba Rivena berbicara, aku langsung menceritakan apa yang
sedang terjadi..
“Mba,
maaf yaa, karin nggak bisa pergi sekarang, karena Masku masuk rumah sakit, Maaf
ya mba, maaf..”
“Iya,
yaa nggak apaapa nduk, moga masnya cepet sembuh.”
“iya.”
Sudah,
sampai situ pembicaraanya. Aku membatalkan janji dengan Mba Rivena, janji makan
ice cream bersamanya, aku segera siap.siap, cepat, cepat. Ku kenakan jilbab,
jaket, kaos kaki dan terakhir ambil sepatu di rak sepatu yang terletak di teras
rumah. Aku keluar dari pintu samping, pintu lalu-lintas untuk mengeluarkan dan
memasukan para kendaraan (motor&sepeda). Aku melaju ke Hidayatullah dengan
mengendarai sepeda motor milik Mei, Mei susanti nama lengkapnya..
Agak
ngebut memang, tapi tetap hati.hati..
Masku
masuk rumah sakit (pikirku dalam hati, di sepanjang perjalananku menuju
Hidayatullah), mas ku kenapa? Masku.. Masku.. Masku..
Aku
sampai di pelataran Hidayatullah, masuk gedung rumah sakit islam itu. Ku
telusuri ruang-ruangnya, mencari ruang Marwa No. 8. Setelah menelpon Mas Taufik
pun segera mengirim pesan singkat – petunjuk keberadaan masku.
Ku
cari-cari bacaan ruang Marwa di plang-plang yang tergantung di atas pintu, tak
kutemukan. Di resepsionist, tak ada orang yang menjaga, atau memang itu bukan
meja resepsionis?. Entahlah, aku tak peduli. Aku terus menelusuri, tetap tak
kutemui. Sepertinya memang harus bertanya-pikirku.
“Mas,
maaf mau tanya ruang, ruang Marwa dimana?”
“Lantai
atas, jawabnya, singkat.”
Aku
langsung menuju lantai atas, tanpa pikir panjang dan ucapan terimakasih sama
mas.mas yang ku tanyai tadi. Aku menaiki anak tangga, dengan langkah cepat.
Akhirnya ku temui ruangan marwa no.8. ku masuki ruangan itu, ku dapati mas,ku
yang tergolek lemah, mas taufik, dan suster yang menanyai tentang riwayat keadaan masku. Mas.ku pernah menderita
hepatitis memang, dan kondisi tubuh masku nggak bisa terlalu lelah.
Ku
liat wajahnya, lemah, lemas sekali. Suster masih menanyai beberapa hal terkait
keadaan masku, setelah di rasa cukup memperoleh informasi tentang keadaan
masku, suster pergi meninggalkan kami – aku, masku, dan mas taufik. Masku
merebahkan tubuhnya di pembaringan, terlihat jelas dari kondisi dan raut
wajahnya, masku lemas, supermanku sedang sakit.
Ku
elus jemarinya, jemari yang di tutupi dengan sarung tangan karena mas merasa
dingin. Kakinya di tutupi dengan kaos kaki dan tubuhnya di selimuti dengan
selimut, mas meras dingin.
Uuhh
. .. uuuhh... ya Allah.. rintih masku. Terasa nyeri setiap tetes air infus yang
masuk memalui selang ke tubuhnya, rintih masku. Aku bingung mau berbuat apa, demikian
adanya –cairan infus memang harus masuk ke dalam tubuhnya, tubuhnya yang tergolek
lemah itu. Ku pandangi ia, supermanku sedang merintih kesakitan, lemah, lemas,
nyaris tak berdaya. Aku tak pernah melihatnya seperti itu sebelumnya, yang ku
tau superman adalah orang yang paling kuat, selalu ada ketika aku butuh,
kapanpun. Yaa, kapanpun.
Hening.
Lama keheningan mendominasi ruangan no. 8 itu, yang terdengar hanya desah nafas
masku dan rintih kesakitannya. Tak ada percakapan antara aku dan mas taufik.
Tak lama. Ku buyarkan suasana dengan memulai percakapan dengan mas taufik.
Awalnya aku bertanya tentang keadaan masku, bagaimana kronologinya sampai bisa
ke ruangan marwa no. 8 ini, dengan santai mas taufik menceritakannya, semua.
Dari mas ku yang awalnya meminta dibelikan bubur ayam sebagai sarapannya, masku
yang di bawanya ke hidayatullah, sampai keputusannya harus memilihkan kamar
atau ruangan mana untuk masku sebagai tempat perawatannya. Percakapan mengalir
dengan derasnya, sedang masku tertidur di pembaringan, nafasnya sudah tak
terlalu terdengar lagi, sudah normal. Rintih kesakitannya pun demikian.
Percakapanku
dengan mas taufik mengalir ke masalah kampus, akreditasi, pengawalan kebijakan,
sampai dengan pembicaraan tentang internal pergerakan yang kebetulan kami
berada di dalamnya, yaa,, aku, masku dan mas taufik bernaung di satu gerakan
mahasiswa. Gerakan yang menurut kami adalah gerakan yang tepat sebagai alat
perjuangan. Percakapan terus mengalir hingga akhirnya mas taufik harus segera
pergi karena ada urusan yang harus di selesaikannya. Tinggal aku dan masku di
ruangan itu.
Sebelumnya,
ada petugas rumah sakit yang membawakan makan siang untuk masku,
“Mas,
maem yaa?” Tanyaku..
“Nanti
aja, jawabnya singkat dan terbata
“iya
akh, makan lah biar cepet sembuh..” lanjut mas taufik
“iya
mas.” tambahku..
Akhirnya
masku bangkit, duduk di pembaringan dengan lemah dan lesu. Ku siapkan makan
siangnya, ku letakkan di depannya. Dengan lunglai masku menyendok nasi bubur
yang sudah disiapkan, lunglai sekali.
“Di
habiskan, makanannya..” kata ku.
Suap
demi suap ia masukan nasi bubur yang di rasa tak enak itu kedalam mulutnya,
“nggak
enak, pahit.” Keluhnya..
“iya,
tapi harus tetap di habiskan,” timbalku..
******
Di
sepanjang tangannya bekerja memasukan bubur ke dalamnya, terjadi percakapan
antara aku dan masku, Masku – satu-satunya anak laki-laki di keluarga
bude-pakdeku. Kami sepupu. Ibunya masku adalah kakak dari ibuku, aku dan masku
bukan mukhrim memang, tapi kami begitu dekat dan memang aku tak bisa jika harus berlaku seperti orang
non-muhrim pada umumnya. Tak sungkan aku mengelus-elus tangannya, menyentuh
kulitnya, memegangi lengannya atau bersandar di bahunya. Tak sungkan pula ak
bermanja-manja dengannya, aku sering bermanja dengannya meski hanya lewat pesan
singkat. Aku merasa begitu dekat. Tak pernah aku takut tentang sesuatu yang
akan terjadi bila kami di posisikan sebagai lelaki dan wanita yang sudah cukup
mengerti, karena memang tidak akan terjadi.
Hanya
saja aku heran dengan orang-orang yang sibuk mengingatkanku atau mengingatkan
masku tentang kedekatan kami. Aku tegaskan, aku menyayangi masku pun
sebaliknya, aku bertindak sebagai adiknya dan masku bertindak sebagai kakak
bagiku, karena kami memang satu keluarga.hanya itu.
***
Ku
perhatikan ia dengan lesu memasukan suapan-suapan bubur ke dalam mulutnya,
alhasil makan siang tidak habis, mungkin hanya setengahnya. Tak apa. Yang
penting perutnya sudah terisi.
Setelah
kubereskan makanan yang sengaja di letakkan di atas pembaringan juga – di
hadapannya. Mas rebahkan tubuhnya. Masku tertidur, bangun lagi, merintih
kesakitan.
Aku
hanya bisa mengelus tangannya dan berkata “Mas, mana yang sakit?”
Dijelaskan
oleh masku, cairan infusnya bikin nyeri, begitu nada terbata-bata yang
bercampur dengan aliran nafas yang sulit ia hembuskan.
“iya
mas, jawabku dengan bingung karena yang bisa berbuat – cairan infus tetap harus
masuk kedalam tubuhnya..
Tak
lama, masku tertidur pulas, aku duduk di kursi yang memang di sediakan di dalam
ruangan itu, ruangan itu tak terlalu besar memang tapi di lengkapi dengan kipas
angin, tv, kamar mandi serta kursi dan meja, aku duduk sambil membaca buku dan
memainkan hape. Tapi rasanya masku tak tertidur pulas, di tengah-tengah suasana
hening sesekali ku dengar suara rintihnya, tidak lagi. Rintih lagi. Demikian.
aku hanya bisa melihatinya, karena memang begitu keadaannya.
Kali
ini ia pejamkan matanya dari setelah nyeri tak begitu terasa, di saat itu ku
pandangi dengan puas raut wajahnya dari kursi yang sekitar 2 meter jaraknya.
Masku-supermanku. Lemah sekali, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk mereda
sakitnya atau menghilangkan sakitnya, tapi masku memang butuh sesuatu, butuh
do’a agar segera sembuh . .
No comments:
Post a Comment
TerimaKasih, ^^ sudah melukiskan komentarnya lewat tulisan..
Salam KenaL.. ^**