
Guru bukan sekedar orang yang
menyembuhkan luka, atau orang yang senantiasa mendengarkan keluh kesah
seseorang yang menderita sakit jiwa, tapi guru adalah sosok yang turut andil
dalam membangun sebuah peradaban.

Kemana peradaban selanjutnya akan
bermuara,
Ibarat sebuah perahu sebesar
apapun kekuatan mesin, sebanyak apapun bahan bakar bahkan dengan bahan bakar
berkualitas tinggi sekalipun jika tidak ada sosok yang mampu mengarahkan kemana
perahu itu berlayar dan bermuara, bisa dikata semua hal itu sia-sia. Perahu
oleng, menabrak karang, hancur berantakan. Jika hal ini di implementasikan pada
kehidupan pendidikan kita sekarang. Sebagus appaun konsep yang dicanangkan
untuk pendidikan kita, sebesar apapun dana yang dilontarkan untuk pembiayaan
pendidikan jikalau gurunya tidak “bergerak” rasa-rasanya semua hal itu akan
sia-sia jua.
Apa yang sebenarnya terjadi
dipendidikan kita ini?
Kurikulum selalu berganti,
kenapa? Apa karna kita tidak pernah percaya diri dengan konsep yang telah kita
canangkan sebelumnya. Bukan, yang lebih tepatnya adalah ganti mentri pendidikan
ganti pula kurikulum. Begitulah, politis sekali memang meskipun pada dasrnya
tidak ada perbedaan yang signifikan antar kurikulum yang lama dengan kurikulum
yang baru dibuat, yang penting “nama kurikulumnya” tidak sama dengan yang lalu,
alasannya politis. Agar setiap pergantian mentri pendidikan “meninggalkan”
sejarah dalam bidang pendidikan dimasa jabatannya.
Tidak perlu miris melihat hal
ini, setiap orang berpotensi untuk ujub bukankah? Ingin dilihat orang banyak
bahwa dirinya berpengaruh besar, apalagi ini, tingkatannya tinggi yakni Negara.
Siapa orang Indonesia yang tak punya mimpi untuk jadi orang yang turut andil
dalam “perjuangan” untuk Indonesia.
Terang saja bukan, tiap kali
pelajaran sejarah disekolah anak-anak diajarkan mengenai perjuangan pada
pejuang Indonesia merebut kemerdekaan meskipun guru yang menerangkan lagi-lagi
hanya sebatas permukaan dan apa yang tertera dibuku. Paling menthok pertanyaan
saat ujian adalah “tanggal berapa BPUPKI dibentuk?” “siapa sajakah para pejuang
yang dimasukkan ke lubang buaya?”. Kapan anak-anak diajarkan mengenai “makna”
sejarah yang kemudian bisa di pahaminnya untuk kehidupannya mendatang.
Kemarin ketika saya praktek
lapangan sebagai syarat untuk mendapat gelar sarjana kependidikan disebuah
sekolah. Saya bertanya dengan anak-anak.. “siapa disini yang suka dengan
sejarah?”. Miris, tidak satu anakpun yang menunjuk tangan sebagai tanda mereka
memiliki rasa ingin tahu mengnai sebuah hal yang disebut “proses”. Baiklah, saya
tidak mengeneralkannya. Maaf.
Menurut saya sejarah adalah
proses. Proses perjuangan, prose pembelajaran, proses pemahaman yang berakibat
banyak sekali. Ntah itu buruk atau baik. Setidaknya sejarah itu adalah hal
penting. Yang setiap orang harus memahami itu.
Bagaimana sejarah hidup kita,
bagaimana sejarahnya kita bisa terlahir didunia ini dari kedua orang tua kita
yang mungkin dulunya sama sekali tidak saling mengenal. Pernahkan kita membuat
peta mengenai sejarah hidup kita?
Dan sejarah pendidikan kita, 12
kali kurikulum di Negara kita berganti. Dengan salah satu alsan politisnya
“setiap ganti mentri harus pula ganti kurikulum”. Baiklah, tidak bisa
disalahkan juga kita hal ini terjadi, toh memnag sudah terjadi dan belum ada
orang yang mampu menjadikan hal ini menjadi sebuah evaluasi besar. Apa salahnya
sii meneruskan kurikulum yang ada, konsep yang ada bahkan nama yang sudah ada.
Akan lebih baik jika memikirkannya mengenai teknis pelaksanaan yang setiap
mentri harus menciptakan sebuah langkah perbaikan baru. Sehingga hal ini bisa
dikolaborasikan dengan langkah sebelumnya dan kemudian menjadi satu kesatuan
yang utuh demi pendidikan bangsa.
Enak sekali memang asal bicara
seperti ini, ah.. lagi-lagi ini kenikmatan menjadi seorang pengamat.
Mari kita kembali pada pokok
pembahasan.
Apa yang sebenarnya terjadi
dengan pendidikan kita?
Input guru yang tidak baik?
Mungkin saja. Mahasiswa yang masuk di jurusan pendidikan, FKIP istilahnya.
Dewasa ini kenyataan yang ada adalah seorang mahasiswa masuk ke fakultas keguruan
dan ilmu pendidikan lantara ia tidak lolos masuk di fakultas kedoktera,
fakultas hokum, atau fakultas lainnya yang ia minati. Kemudian dengan alasan
politis lagi “ yaa, aku nggak ketirima di jurusan yang aku pengen, mau kemana
lagi kalo tidak di FKIP, takdirnya di FKIP kok”. Mana bisa bangsa ini maju
pendidikannya jikalau calon guru saja tidak lurus niatnya. Dan ini termasuk
saya, tapi itu dulu. Semester 6 saya menyadari keberadaan saya di fakultas FKIP
akan membuat saya jauh lebih maju dan perkembang serta bisa berkontribusi
banyak pada Negara ini ketimbang saya masuk pada jurusan yang say idam-idamkan
sebelumnya. Takdir. Ia ini adalah takdir terbia dariNya untuk saya, dan saya
sangat bersyukur akan hal ini.
seharusnya mahasiswa-mahasiswa fkip itu adlah orang-orang pilihan. orang2 yang benar-benar ingin bekerja keras dan berjuang untuk membangun sebuah peradaban, mencerdaskan kehidupan bangsa. bukan orang-orang frustasi lantaran tidak masuk di fakultas lain.
kemudian, saya hendak bertanya lagi apa yang sebenarnya terjadi ditubuh pendidikan kita?