Sunday, 6 October 2013

Guru.. Hooaammm..


Guru bukan sekedar orang yang menyembuhkan luka, atau orang yang senantiasa mendengarkan keluh kesah seseorang yang menderita sakit jiwa, tapi guru adalah sosok yang turut andil dalam membangun sebuah peradaban.

Kemana peradaban selanjutnya akan bermuara,
Ibarat sebuah perahu sebesar apapun kekuatan mesin, sebanyak apapun bahan bakar bahkan dengan bahan bakar berkualitas tinggi sekalipun jika tidak ada sosok yang mampu mengarahkan kemana perahu itu berlayar dan bermuara, bisa dikata semua hal itu sia-sia. Perahu oleng, menabrak karang, hancur berantakan. Jika hal ini di implementasikan pada kehidupan pendidikan kita sekarang. Sebagus appaun konsep yang dicanangkan untuk pendidikan kita, sebesar apapun dana yang dilontarkan untuk pembiayaan pendidikan jikalau gurunya tidak “bergerak” rasa-rasanya semua hal itu akan sia-sia jua.

Apa yang sebenarnya terjadi dipendidikan kita ini?

Kurikulum selalu berganti, kenapa? Apa karna kita tidak pernah percaya diri dengan konsep yang telah kita canangkan sebelumnya. Bukan, yang lebih tepatnya adalah ganti mentri pendidikan ganti pula kurikulum. Begitulah, politis sekali memang meskipun pada dasrnya tidak ada perbedaan yang signifikan antar kurikulum yang lama dengan kurikulum yang baru dibuat, yang penting “nama kurikulumnya” tidak sama dengan yang lalu, alasannya politis. Agar setiap pergantian mentri pendidikan “meninggalkan” sejarah dalam bidang pendidikan dimasa jabatannya.

Tidak perlu miris melihat hal ini, setiap orang berpotensi untuk ujub bukankah? Ingin dilihat orang banyak bahwa dirinya berpengaruh besar, apalagi ini, tingkatannya tinggi yakni Negara. Siapa orang Indonesia yang tak punya mimpi untuk jadi orang yang turut andil dalam “perjuangan” untuk Indonesia.
Terang saja bukan, tiap kali pelajaran sejarah disekolah anak-anak diajarkan mengenai perjuangan pada pejuang Indonesia merebut kemerdekaan meskipun guru yang menerangkan lagi-lagi hanya sebatas permukaan dan apa yang tertera dibuku. Paling menthok pertanyaan saat ujian adalah “tanggal berapa BPUPKI dibentuk?” “siapa sajakah para pejuang yang dimasukkan ke lubang buaya?”. Kapan anak-anak diajarkan mengenai “makna” sejarah yang kemudian bisa di pahaminnya untuk kehidupannya mendatang.
Kemarin ketika saya praktek lapangan sebagai syarat untuk mendapat gelar sarjana kependidikan disebuah sekolah. Saya bertanya dengan anak-anak.. “siapa disini yang suka dengan sejarah?”. Miris, tidak satu anakpun yang menunjuk tangan sebagai tanda mereka memiliki rasa ingin tahu mengnai sebuah hal yang disebut “proses”. Baiklah, saya tidak mengeneralkannya. Maaf.

Menurut saya sejarah adalah proses. Proses perjuangan, prose pembelajaran, proses pemahaman yang berakibat banyak sekali. Ntah itu buruk atau baik. Setidaknya sejarah itu adalah hal penting. Yang setiap orang harus memahami itu.
Bagaimana sejarah hidup kita, bagaimana sejarahnya kita bisa terlahir didunia ini dari kedua orang tua kita yang mungkin dulunya sama sekali tidak saling mengenal. Pernahkan kita membuat peta mengenai sejarah hidup kita?

Dan sejarah pendidikan kita, 12 kali kurikulum di Negara kita berganti. Dengan salah satu alsan politisnya “setiap ganti mentri harus pula ganti kurikulum”. Baiklah, tidak bisa disalahkan juga kita hal ini terjadi, toh memnag sudah terjadi dan belum ada orang yang mampu menjadikan hal ini menjadi sebuah evaluasi besar. Apa salahnya sii meneruskan kurikulum yang ada, konsep yang ada bahkan nama yang sudah ada. Akan lebih baik jika memikirkannya mengenai teknis pelaksanaan yang setiap mentri harus menciptakan sebuah langkah perbaikan baru. Sehingga hal ini bisa dikolaborasikan dengan langkah sebelumnya dan kemudian menjadi satu kesatuan yang utuh demi pendidikan bangsa.
Enak sekali memang asal bicara seperti ini, ah.. lagi-lagi ini kenikmatan menjadi seorang pengamat.
Mari kita kembali pada pokok pembahasan.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan pendidikan kita?

Input guru yang tidak baik? Mungkin saja. Mahasiswa yang masuk di jurusan pendidikan, FKIP istilahnya. Dewasa ini kenyataan yang ada adalah seorang mahasiswa masuk ke fakultas keguruan dan ilmu pendidikan lantara ia tidak lolos masuk di fakultas kedoktera, fakultas hokum, atau fakultas lainnya yang ia minati. Kemudian dengan alasan politis lagi “ yaa, aku nggak ketirima di jurusan yang aku pengen, mau kemana lagi kalo tidak di FKIP, takdirnya di FKIP kok”. Mana bisa bangsa ini maju pendidikannya jikalau calon guru saja tidak lurus niatnya. Dan ini termasuk saya, tapi itu dulu. Semester 6 saya menyadari keberadaan saya di fakultas FKIP akan membuat saya jauh lebih maju dan perkembang serta bisa berkontribusi banyak pada Negara ini ketimbang saya masuk pada jurusan yang say idam-idamkan sebelumnya. Takdir. Ia ini adalah takdir terbia dariNya untuk saya, dan saya sangat bersyukur akan hal ini.
seharusnya mahasiswa-mahasiswa fkip itu adlah orang-orang pilihan. orang2 yang benar-benar ingin bekerja keras dan berjuang untuk membangun sebuah peradaban, mencerdaskan kehidupan bangsa. bukan orang-orang frustasi lantaran tidak masuk di fakultas lain. 

kemudian, saya hendak bertanya lagi apa yang sebenarnya terjadi ditubuh pendidikan kita?